Mungkin, Selesai.

Aku enggan menamai kita sebagai makna. Entah sudah berapa kali kalimat-kalimat sayang itu tidak lagi bernyawa. Entah sudah terasa apa genggaman tanganmu saat menemuiku ketika rindu. Jelas rasanya dingin sekali. Ingin menghangatkannya, tetapi dengen cara apa? 

Sudah tidak mungkin dengan obrolan sederhana, awalnya kami terbentuk dari itu. Dari perbincangan-perbincangan tanpa kenal waktu, dari lelucon murahan dengan tawa yang menggairahkan. 

Entah semua berubah sejak darimana. Seperti telapak tangan dibalikkan begitu saja. Dengan mudah-ia menghapus kita. 

Bagian mana salahnya? setiapnya berjalan dengan benar. Beberapa kali rumit-rumit terselesaikan, beberapa terjal mampu kami lewati, walau dengan berat hati harus melangkah sendiri. 

Jelasmu selalu abu-abu. Tidak ada selesai, sebenarnya. Hanya masing-masing dari kita enggan menatap lebih lama. Sebab dimatanya, aku seperti api yang membuatnya panas berkali-kali. Sebab dimataku, kisah kami seperti sinema televisi dengan pemeran utama yang sedih. Ia penuh amarah-peranku menangis sejadinya. 

Sudah lama didiamkan, kemudian runtuh perlahan. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Menunggu Pulangmu

Mei di Cikini