Postingan

Kaliurang yang Hangat

malam itu, mataku lebih terang dari jam kantukku, ia tahu puannya menunggu laki-laki yang sudah 60 hari membuatnya hidup dari hidup biasanya. tidur panjangnya kembali terbangun, dari mimpi yang gelap sekali, laki-laki itu memberinya banyak senyum--disetiap pagi--disepanjang hari. degupku tidak terhitung jumlahnya. ku coba merapikan, mengaturnya dengan helaan napas. pintaku semoga berguna, malah lebih bergetar dari seharusnya. kalau-kalau jantungku berisik, aku siap terkapar dengan keadaan berbunga-bunga.  "aku sudah sampai depan penginapan"  satu pesan masuk yang membuatku tidak karuan, rasanya seperti kupu-kupu diperutku telah lepas dari kepompongnya. menyenangkan. "hallo, Mas Angga, ya?"  pertanyaan yang aku tahu jawabannya.  tanganku memberi salam, ia diam. ku lihat dari raut wajahnya, ia seperti sedang melepas ketegangan. terlihat lega dan menjaga kesan pertama. kami duduk di beranda tempatku dan keluarga menginap.  "ini mamaku" ucapku sembari mengenal

Waktu Menunggu Pulangmu

Sepertinya aku sudah rela menghabiskan waktu menunggu pulangmu.  Tenang saja, akan ku sambut dengan teh hangat serta pertanyaan "mau makan apa malam ini?"  Disana, aku mohon dengan sangat, berkeluh kesahlah; untuk apa saja lelahmu berlalu? barangkali untuk caci maki pekerjaan yang berupa tuntutan, atau untuk beberapa anak kecil di lampu merah yang senyumnya mampir pada penglihatanmu ketika kau beli tissue jualannya. Aku tahu, kau senang bagian membantu dan menerima raut wajah penuh tulus itu.  Lagi, dan lagi, aku katakan; aku sudah rela menghabiskan waktu menunggu pulangmu. Sudah ku siapkan telinga untuk harimu yang penuh cerita, dengan sayur sop bakso dan telur puyuh kegemaranmu. Aku sudah hafal runtutannya, dua kali menyuap, satu kali cerita. Tentang vinyl incaranmu, tentang kecewamu dengan pertandingan bola malam kemarin, tentang harga tiket konser band favoritemu, dan tentang apapun itu, akan ku hadiahi kecupan disetiapnya. Nanti, dimalam yang sekiranya kau kehujanan, aka

Mungkin, Selesai.

Aku enggan menamai kita sebagai makna. Entah sudah berapa kali kalimat-kalimat sayang itu tidak lagi bernyawa. Entah sudah terasa apa genggaman tanganmu saat menemuiku ketika rindu. Jelas rasanya dingin sekali. Ingin menghangatkannya, tetapi dengen cara apa?  Sudah tidak mungkin dengan obrolan sederhana, awalnya kami terbentuk dari itu. Dari perbincangan-perbincangan tanpa kenal waktu, dari lelucon murahan dengan tawa yang menggairahkan.  Entah semua berubah sejak darimana. Seperti telapak tangan dibalikkan begitu saja. Dengan mudah-ia menghapus kita.  Bagian mana salahnya? setiapnya berjalan dengan benar. Beberapa kali rumit-rumit terselesaikan, beberapa terjal mampu kami lewati, walau dengan berat hati harus melangkah sendiri.  Jelasmu selalu abu-abu. Tidak ada selesai, sebenarnya. Hanya masing-masing dari kita enggan menatap lebih lama. Sebab dimatanya, aku seperti api yang membuatnya panas berkali-kali. Sebab dimataku, kisah kami seperti sinema televisi dengan pemeran utama yang se

Mei di Cikini

Seperti sabtu yang jarang ku lewati Bangun tidak terlalu pagi, tetapi tetap ingat teriakan mama dipintu rumah, disambutnya aku dengan nasi goreng merah Stasiun Citayam setia menjadi tempat bertumbuh - untuk debar dan degupku Kali ini tidak terlalu berbunga, hanya belum mekar sempurna Mei di Cikini Taman Ismail Marzuki dengan revitalisasi Ruang publik menyenangkan untuk aku dan ia yang sedaritadi merangkul bahuku Isi perut pertama kami es kopi susu M di Toko Kopian, roti bakar cokelat krenyes dan blueberry seperti rasa pisang Aneh-aneh saja komentarnya, bagian mana pisangnya?  Ditanya lagi "bagian mana tempat untuk akunya?" Tentu belum ada jawaban, masih samar bentuknya Dalam hati "kalau sudah siap, tentu disatu tempat yang dalam sekali"  Medan lebih lama terbenam, satu jam lebih panas dari Jakarta Keluhan pekerjaan, rekan kantor yang tidak begitu asyik, seputar itu isi kepalanya Dua puluh tujuh tetapi disana seperti anak kecil yang lari terpuruk dan tentu butuh pelu

Aku rela, menyimpan debar itu

aku berbohong jika tidak menginginkanmu dalam dasar diriku, ingin sekali memilki senyum itu melihatnya dengan puas, atau sesekali menyicipi manisnya lebih dari itu, inginku sebatas syukur sebab diberi jalan atas pertemuan menikmati ciptaan Tuhan -- berbentuk kau. lagi-lagi, aku berbohong jika tidak menginginkanmu bagaimana tidak? kepalaku seperti memutar yang kau-kau saja  didalamnya, menjelma kata kutukan, dikutuknya aku menjadi perempuan sulit melupakan jangan bilang ini doamu kepada Tuhan?  rasa-rasa tidak ingin aku pergi, kau hadiahi ingatan berupa pelukan hangat dalam episode mengingatmu tanpa sekat aku rela--menyimpan debar itu.

September dan Hujannya

aku ingat betul, tepatnya malam minggu pertama diawal september yang tidak begitu ceria tetapi tawanya sedikit mampir digerak bibir kita.  kala itu, hujan deras beserta petirnya. setiap petir bergemuruh, setiap itu juga kejutku dipeluk tenangmu. udara seperti dimasak habis sampai mendidih, lalu ia sajikan disemangkuk lengan dengan janji hangat yang akan diberikan, dan berhasil. sampai ke tulang.  aku bukan pemuja dingin, bukan juga pecinta hangat. hanya ketika berada didekatmu aku merasa sejuk, ditambah aroma parfume elegant yang sulit aku deskripsikan tetapi sudah kupastikan bagian ini favoritku.  bossku, malam minggu begini, turut andil memasuki pikiranku tentang seluk beluk pekerjaan dengan urutan deadline yang menyeramkan. lagi-lagi kalimat ia menyelamatkan.  "kerjakan saja, pekerjaanmu tidak akan selesai jika kau hadiahi sambat-sambat itu" perlahan, tanganku mengerjakan, ditemani ia dengan pandangan memperhatikan, sambil sesekali bergumam "cantik kalau lagi serius&q

Apa-apa yang Pertama Kali

Mengenalkan diri dengan satu laki-laki. Sebenarnya sudah lama hatiku berani terbuka. Walau masih sedikit takut, aku bersedia menyelami rupa-rupa manusia lagi. Memang banyak semoga disana, semoga sakitnya tidak sama, semoga yang ini bertahan berjalan bergandengan, semoga kesemogaanku diamini Tuhan.  Pertama dihadiahi sapaan paling tidak pernah aku alami. Walau sudah pekerjaannya, pun menambah relasi saja. Aku paham senangku hanya bertahan satu jam.  Pertama menghitung mundur pertemuan, sudah lama jantungku tidak berdegup kencang, hari itu rasanya seperti dibangunkan Ibu kalau sudah telat kencan. Ketegangan yang aku tunggu-tunggu.  Pertama menerka tinggi badannya, berat badannya, apa isi kepalanya ketika berbicara dengan rewelku. Katanya, jangan tidak percaya diri. Ia mencintaiku tanpa tetapi. Ia selalu ingin mendengarkan ocehanku. Ia selalu mau melihat wajah suntukku ketika menemaninya bekerja, sambil sesekali bertanya sudah jam berapa.  Pertama mengenal jalan raya pukul tujuh lewat tig