Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Tuhan, Katanya Bidadara itu Fana?

matanya teduh berkali-kali aku dibuatnya jatuh pernah sesekali mengalihkan pandangan tetapi, seperti menyia-nyiakan nikmat Tuhan pernah sesekali tidak peduli tetapi, pada senyuman itu, bunga di pekarangan hatiku seakan tumbuh kepalaku seperti memutar yang itu-itu saja yang indah-indah saja yang anehnya aku merasa senang terjebak pada penglihatan aduhai tampan tidak rela berkedip barang satu detik lengkung bibirnya, alis tebalnya, kumis tipisnya, lesung dipipinya merah, hitam dan rapi, manis sekali tolong berhenti memainkan senyummu ini aku perempuan yang bola matanya berbentuk cinta memandangmu itu ada zat adiktifnya bolehkah ku bawa pulang wajah itu?  mari buat perjanjian jika dibolehkan, ku jaga ia tanpa disentuh siapa-siapa jika tidak, masa tega?  aku ini butuh pesonamu baru kali ini berapapun mahalnya, rela ku bayar lunas - tuntas, asal seutuhnya milikku Tuhan, katanya bidadara itu fana? oh ternyata mimpiku sedang di surga

Kasmaran

aku ceritakan seseorang yang acuhnya ku rindukan. aku mengenalnya beberapa bulan lalu, tepat di mana aku sedang merasa akrab dengan kesendirian. aku memanggilnya teman, tentu dalam keadaan ramai. sedang dalam diam, aku kepalang menanamkan kenyamanan.  ia punya banyak cerita. anehnya, dari setiap cerita yang berbeda aku mampu hanyut didalamnya. dari yang menyedihkan, aku ikut terpukul. dari yang bahagia, aku tertawa kencang disana. sesuai suasana.  aku rela mendengarkan suaranya yang menyenangkan. tawanya renyah, tangisnya tulus.  tidak ada yang perlu dihapus darinya, selain waktu yang sedikit untukku. tetapi dari situ, aku paham bahwa rinduku tetap terjaga. menunggu jam pulang kerja untuk sekadar mengirimi ia pertanyaan sedang apa saat petang, atau bagaimana pekerjaan yang membuatnya jauh dari percintaan.  dewasa, adalah salah satu kata yang tepat untuknya. selain dari usia, ia mampu tumbuh dengan isi kepala yang bıjaksana. menghadapi masalah tanpa kepergian, melibatkan Tuhan untuk set

September 1998

Kepada September 1998, aku hadir dengan campur tangan Tuhan. Dibantu Ibu bidan, dan napas yang tersenggal seperti saut menyaut dengan kematian. Ibuku, penuh perjuangan melahirkan bayi perempuan dengan panjang dan berat yang dicatat pada papan bertuliskan anak dari orangtuaku.  Usiaku kala itu 0 bulan. Bisaku hanya menangis dan masa depan masih jauh dari bayang-bayang. Kemudian aku tumbuh, melewati banyak September dengan macam-macam perasaan. Disetiap pagi tanggal 21 kecup kening penuh kasih sayang itu tidak pernah hilang. Hangat. Disemayamkan doa-doa baik disana, semoga anak kami besar dengan penuh cinta. Terima kasih, sebab sudah memilih kami menjadi orangtua, ucap Ibu dan Ayahku kala itu.  Aku beranjak melewati massa. Remaja, dewasa, tetapi aku tetap anak kecil dimata Ibu dan Ayah.  Massa remajaku biasa-biasa saja, sebab aku manusia yang takut melewati batas wajarnya. Persetan kata orang pergi dari kenyamanan, aku sudah cukup, dengan diriku. Mampuku hanya sebatas itu, sisanya aku ti

Hanya Aku

sore itu milikku sendiri, biar cibubur menjadi saksi aku berbicara lantang disepanjang jalan latihan kalau-kalau kehabisan bahasan, lancar bibirku mengucap disana kalimat-kalimat yang tidak tertata, tidak terlalu memalukan juga, paling tidak kamu ikut buka suara sudah siap-siap banyak cerita tentang sotomie barangkali dagingnya babi tentang cipendawa dengan debu menyebalkan tentang perjalanan pergi dan pulang  tentang lelahku yang ingin mencuri perhatian acuh itu bisa-bisanya aku mengatur dengan rapi, padahal rencana berkali-kali dipatahkan seorang diri masa mimpiku semalam ada kamu? dikecup keningku, lalu pisah juga kemudian paginya aku bangun tidur dengan senang tas kantor tidak seperti biasanya alat make up ku kemas, tidak lupa gincu merah yang sepertinya mempan menggoda  laptop juga ku bawa jika menunggumu membosankan, biarkan aku bersenang-senang dengan internet gratisan malah malamnya lemari kosong, sebelas dua belas dengan pikiranku ku coba satu-persatu baju-baju warna hitam tid

Syukurlah, aku sembuh sendiri

Hari ini, maksudku sudah penuh segala waktu, aku-telah-mampu-melupakan-bajingan itu. Lenyap seluruh getar ketika kenangan satu-persatu memudar.  Dengan ini, aku menyatakan sudah sepenuhnya pergi dari ruang yang tidak menginginkanku lagi.  Syukurlah aku sembuh sendiri.  Dengan bantuan tangan-tangan barista kesayangan coffeeshopnya yang meracik es kopi apik untuk ku nikmati bersama brownies atau croissant ditambah lagu-lagu kesukaan. Dengan bantuan drama korea yang membawaku hanyut bersama jalan ceritanya. Dengan bantuan buku-buku lama yang maaf aku menghampirimu lagi ketika patah hati. Oh, tentu. Dengan bantuan banyak teman lelaki yang turut mengambil alih untuk membantu menyembuhkan luka lalu.  Obrolan tidak masuk akal yang tetap didengarkan. Kadang berupa rayuan, tetapi mati sudah rasanya mendapati kata-kata gombalan. Barangkali dari situ tumbuh lagi kenangan-kenangan baru. Senyum tipis yang tidak ku sadari melengkung dipinggir bibir yang dulu cemberut melulu.  Menyenangkan. Tidak ada

Melewati Satu Tahun

Sudah berjalan satu tahun perpisahan tanpa kata itu. Masih teringat jelas bagian mana yang menyenangkan, tentu saat ia melamarku dihadapan Ibu. Pun masih sangat membekas luka yang ia berikan ketika masih berjalan, tetapi ternyata ia melepasku perlahan. Seperti menseriuskan lelucon, aku adalah perempuan yang tertawa diatas kesedihanku sendiri, atas campur tanganmu, bahagiaku kabur jauh.  Kenangan belum juga mati. Ia terus tumbuh, dimalam hari, disaat aktivitasku terhenti. Menjelma apa saja, kadang berupa wajahmu yang suntuk ketika ku perintahkan untuk cukur rambut, atau berupa senyuman tipis saat diam-diam menatapku lama, ia juga berupa genggaman saat tanganku tidak hangat. Sekarang, siapa peran pengganti untuk cerita yang belum sempat selesai ini?  Aku bertanya bagian mana yang harus ku terima atas kalimat yang ia utarakan sebelum terlepas dari pelukan: "aku sayang kamu, tetapi ku yakin bahagiamu bukan denganku." Sampai saat ini, ketidak pahaman memutar kencang dikepalaku. Bu

Mengunjungi Kenangan

Dalam rangka memperingati malam 13 yang pernah menjadi bagian penting sebelum berubah menjadi asing, entah masih kau ingat atau tidak angka sial yang pernah aku dan kau tunggu-tunggu kedatangannya. Malam ini saja, izinkanku menyelami banyak kenangan yang melumpuhkan ingatan dibagian paling tidak menyenangkan, dibagian paling memuakkan tentang bagaimana seorang pelupa sepertiku tidak mampu melupakan anjing-anjing yang menggonggong tajam diingatan.  Tidak harus mengisyaratkan awal atas apa-apa yang telah berakhir. Begini saja, bagaimana kalau dimulai dengan satu tahun lalu tepat di mana rasa manis masih tersisa dijam lima. Sebelum sore itu tiba, biasanya malam-malam aku rewel mengirimimu banyak pesan tentang harus dirayakan seperti apa hari esok. Walau sebenarnya tidak pernah ada perayaan yang istimewa, bagaimanapun tanggal sama saja, hanya pada 13 aku merawatnya lebih apik selain salah dua dari angka kelahiran manusia-manusia tercinta dihidupku. Aku menanamnya diingatan, diberi pupuk be

Mengakhiri Tahun Tersedih

2020 lalu, aku diberi kesempatan menikmati kembang api dilangit yang menangis deras malam itu-bersamamu. Aku ingat betul sebelum malam pergantian tahun mengakhiri massanya, aku dan kau berdebat tentang pertemuan. Kau mengalah dan menyetujui permintaan menjemputku di kantor yang jalan rayanya tidak pernah bersahabat saat jam pulang. Satu hal dari sekian banyak alasan mengapa aku mencintaimu tanpa ampun. Sebab menjemputku hujan-hujan adalah suatu perjuangan yang masih aku ingat, bahkan ketika tulisan ini dibuat, aku masih sangat ingat setiap detik pun seluk beluk lekukan tubuhmu yang kedinginan kala itu.  Aku marah karena gelisah. Jam sekaratku akan tiba, tetapi kabarmu belum juga ada. Kemudian beberapa jam setelah isya berkumandang, satu pesan sampai pada telepon genggamku, ku pastikan itu kau, membawa kabar sudah datang. Tubuhmu kaku saat itu, menahan dinginnya angin jalan dari Tangerang sampai TB Simatupang. Bukan bermaksud kejam, aku hanya menginginkan pertemuan dengan alih-alih mau