Mengunjungi Kenangan

Dalam rangka memperingati malam 13 yang pernah menjadi bagian penting sebelum berubah menjadi asing, entah masih kau ingat atau tidak angka sial yang pernah aku dan kau tunggu-tunggu kedatangannya. Malam ini saja, izinkanku menyelami banyak kenangan yang melumpuhkan ingatan dibagian paling tidak menyenangkan, dibagian paling memuakkan tentang bagaimana seorang pelupa sepertiku tidak mampu melupakan anjing-anjing yang menggonggong tajam diingatan. 

Tidak harus mengisyaratkan awal atas apa-apa yang telah berakhir. Begini saja, bagaimana kalau dimulai dengan satu tahun lalu tepat di mana rasa manis masih tersisa dijam lima. Sebelum sore itu tiba, biasanya malam-malam aku rewel mengirimimu banyak pesan tentang harus dirayakan seperti apa hari esok. Walau sebenarnya tidak pernah ada perayaan yang istimewa, bagaimanapun tanggal sama saja, hanya pada 13 aku merawatnya lebih apik selain salah dua dari angka kelahiran manusia-manusia tercinta dihidupku. Aku menanamnya diingatan, diberi pupuk berupa kasih sayang, tepat dua belas bulan ku petik bunga yang tumbuh dipekarangan hatiku. Warna merah jambu, artinya bahagiaku selalu tentang kamu. Bahagia sebab mampu mendampingi laki-laki keras kepala yang cintanya tidak pernah habis untukku-kala itu. 

Aku si kalang kabut mencari kalimat ucapan terimakasih yang kububuhi romantisasi. Paginya ku sediakan kau sarapan berupa kata-kata cukup panjang yang berisi ungkapan sayang, syukur, dan semoga. Tidak ada hadiah apa-apa setiap tahunnya, hanya banyak doa tersimpan disana. Kadang terkabul, kadang ingin kabur. Satu waktu ingin berjuang, diwaktu lain ingin menyerah, tetapi sudah terlanjur berdarah. 

Tepat dijam 12 malam, biasanya kita, maksudku aku dan kau berebut untuk menjadi yang pertama mengucapkan hari jadi. 

Cukup kenyangkah kau ku beri asupan tulisan? Menurutku tulisan adalah satu-satunya jalan untuk mengungkapkan. Kau tahu betapa aku mencintai tulisan, sebagaimana aku mencintaimu, tentu. 

Namun, kau juga membalas tulisanku, bukan? Dengan khas yang berbeda, tetapi tetap membuat pipiku merona saat membacanya. Katanya terimakasih sebab hadir didalam hidup yang berantakkan sekali. Aku tidak merapikan, aku hanya perempuan yang melihatmu tumbuh lebih baik dari kau yang dulu. Usahamu sendiri, aku hanya si tukang mengapresiasi. Dengan tepuk tangan paling meriah dan pujian betapa bangganya aku atas apa-apa yang kau kejar seorang saja. 

Merayakannya dengan sederhana, dengan banyak tawa didalamnya, dengan bercandaanku yang tidak kau hargai letak lucunya, atau dengan pelukkan hangat saat menuju warung soto di jalan Merpati tanpa burung itu? Soto daging dengan satu piring nasi, jangan lupa acar dan air mineral, sendok garpu yang sudah ku bersihkan dengan tisue, tomat yang kau wariskan dimangkokku, dan akan selalu begitu. 

Membicarakan banyak hal, dari yang tidak penting, sampai membicarakan masa depan adalah aku dan kau yang berdiri di pelaminan. Haha aneh-aneh saja, terlalu jauh harapan yang dibangun, hingga lupa masa sekarang belum sepenuhnya dilewatkan. 

Kemudian dijalan pulang, aku dan kau sama-sama mengucapkan "terimakasih untuk tetap ada, dan tidak pernah pergi" dengan bahasa sendiri-sendiri. 

Begitu saja kebiasaan yang ku ingat. Saat ini, perayaan setiap tahunnya sudah kadaluwarsa. Tidak lagi berlaku untuk aku dan ia. Kebiasaan yang dulu dijalankan, kini hanya sebagai hal biasa-biasa saja. Sudah tidak ada lagi cinta, hanya beberapa kali sempat ingat kemudian tetap mati setelahnya. Selamat bersenang-senang dengan seseorang yang bukan aku didalamnya. Semoga bahagia menyertaiku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Menunggu Pulangmu

Selamat datang, mahasiswa baru.

Mei di Cikini