September 1998

Kepada September 1998, aku hadir dengan campur tangan Tuhan. Dibantu Ibu bidan, dan napas yang tersenggal seperti saut menyaut dengan kematian. Ibuku, penuh perjuangan melahirkan bayi perempuan dengan panjang dan berat yang dicatat pada papan bertuliskan anak dari orangtuaku. 

Usiaku kala itu 0 bulan. Bisaku hanya menangis dan masa depan masih jauh dari bayang-bayang. Kemudian aku tumbuh, melewati banyak September dengan macam-macam perasaan. Disetiap pagi tanggal 21 kecup kening penuh kasih sayang itu tidak pernah hilang. Hangat. Disemayamkan doa-doa baik disana, semoga anak kami besar dengan penuh cinta. Terima kasih, sebab sudah memilih kami menjadi orangtua, ucap Ibu dan Ayahku kala itu. 

Aku beranjak melewati massa. Remaja, dewasa, tetapi aku tetap anak kecil dimata Ibu dan Ayah. 

Massa remajaku biasa-biasa saja, sebab aku manusia yang takut melewati batas wajarnya. Persetan kata orang pergi dari kenyamanan, aku sudah cukup, dengan diriku. Mampuku hanya sebatas itu, sisanya aku tidak menyangka kalau-kalau nalarku berisik memutar pertanyaan "kok bisa? kok sudah sampai disini saja?" aku belum menemukan jawabannya. Setahuku, apapun yang terasa mudah adalah doa orangtua sedang bekerja disana. 

Aku belum mengenal cinta pada usia belasan tahun lalu kala itu. Saat teman sebayaku sibuk kencan, aku hanya sekolah lalu pulang. Tidak ada kekasih, tetapi sering mengalami patah hati. Tak tahu, pernah saja. 

Aku adalah anak yang telat mekar. Saat teman-temanku antusias mengenakan make up ke sekolah, aku payah. Bahkan bedak tabur saja tidak punya. Pertama kali aku mengenakan gincu merah rasanya menyenangkan, jadi banyak senyum. 

Perlahan, aku mulai mengenal kehidupan. Tidak selalu berjalan dengan rencanaku, memang. Percaya diriku sering dimatikan orang-orang. Mimpiku, sering dianggap tidak masuk akal. Beberapa kali kakiku seperti dipatahkan, tidak bisa berjalan, hanya diam, didalam ketidakberdayaan. Jahat tidak pernah lenyap, semoga kuatku tidak kalah. Keadaan menyuruhku menerimanya. Sebab, dari sana, aku paham, bangkit kadang hanya soal bertahan.

Kepada September 1998, perjalanan masih terbentang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Menunggu Pulangmu

Selamat datang, mahasiswa baru.

Mei di Cikini