9 Juli 2014

Ini kali pertama aku memberikan hak suara kepada calon presiden 2014. Pemilihan calon/wakil presiden tahun ini sangat menegangkan. Tim sukses dari masing-masing cawapres bersaing dengan caranya masing-masing. Sementara aku dan anak dewasa yang baru punya Kartu Tanda Penduduk merasa kaget dengan yang namanya demokrasi. Ternyata menentukan pilihan untuk negara sama sulitnya dengan menentukan pilihan untuk hati, ekhem.

******
Aku tiba di TPS bersama Ibu dan Ayah ku. Banyak orang yang ingin ikut berpartisipasi menentukan suara untuk cawapres. Ternyata banyak juga yang peduli dengan negara. Alhamdulillah.
Di TPS saya, Ibu dan Ayah mengikuti aturan yang disediakan, dengan pilihan masing-masing dipikiran, visi-misi yang sesuai dengan jalan kehidupan. Tapi di TPS saya mendengar seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 14tahun menggerutu sambil memungut beberapa gelas air mineral yang berserakan ditanah.
“untuk apa sih pencoblosan, gak penting.” Katanya menggerutu sedikit kesal.
Mendengar dia menggerutu seperti itu, saya ingin sekali memprotes dan menanyakan mengapa pemilihan presiden sangat tidak disegani olehnya.
Dan akhirnya saya mendekatinya.
‘dek, kamu lagi apa ?’ tanya ku basa-basi.
‘saya lagi memungut gelas akua, kak. Memungut sumber rezeki untuk saya dan keluarga.’ Katanya sedikit menundukan kepala. Dia sedikit bersedih.
‘oh begitu, Ibu dan Ayah mu tidak mencoblos ?’
‘tidak, kak. Tenaga mereka terlalu berharga untuk sekedar mencoblos cawapres.’ Dia menegakan kepalanya.
‘koq begitu ? dek, ayah saya pernah bilang, satu suara itu sangat berharga untuk negara.’ Saya mencoba menjelaskan apa yang saya dapati dari ayah.
‘ayah dan keluarga kakak sehat, ibu dan ayah saya sakit kak. Bahkan ayah saya meninggal karna kelaparan, karna janji para petinggi demokrasi yang katanya ingin membiayai pengobatan ayah saya sampai sembuh tapi nyatanya beras murah saja tak pernah kami dapati di rumah.’ Katanya dengan sedikit kesal tapi bersedih.
‘dek, nyawa itu ditangan Allah bukan ditangan para pejabat.’ Kataku membenarkan perkataannya.
‘memang kak, tapi mereka perantara dari setiap pemberian Allah kak, mereka pejabat pastilah pintar ini-itu termasuk pintar mengurusi kami, rakyat yang hanya berharap kenyang setiap malam kak.’ Dia, bersedih lagi.
‘lalu kalau kamu dan keluarga mu kelaparan...’ saya berhenti dikata terakhir.
‘kalau ada rezeki ya makan nasi baru beli kalau tidak ada terpaksa makan pemberian orang yang sudah 2hari yang lalu, kita makan nasi basi, kak.’ Dia masih bersedih.
aku hanya terharu mendengar ucapan terakhirnya.

******

‘kamu sekolah ?’ aku melanjutkan pertanyaan ku.
‘dulu pernah kak Cuma sampai semester 1 kelas 1 SD, lalu seterusnya saya Cuma belajar dirumah singgah, ya karna belajar dirumah singgah lah saya sedikit punya pengetahuan.’ Katanya dengan sedikit senyuman.
‘kakak ikut mencoblos ?’ dia balik bertanya.
‘iya dek, ini kali pertama kakak menentukan pilihan untuk negara hehe.’ Kata ku sedikit membanggakan diri.
‘oh begitu, romannya kakak senang sekali bisa ikut mencoblos ?’ dia sedikit menyindir.
‘tentu, dek.’ Aku menjawab pasti.
‘kenapa kak ? oh iya kelihatannya kakak orang berada, orang berpendidikan, pasti kakak belum pernah merasakan pahitnya percaya dengan janji-janji mereka.’
‘mereka siapa ?’ aku tak mengerti dengan yang dimaksud ‘mereka’.
‘mereka itu kak beberapa orang yang mengobral janji dengan rakyat, yang menjamin hidup saya dan teman-teman rakyat kecil lainnya untuk hidup enak, sekolah tanpa mimikirkan biaya dan mereka juga janji akan memperhatikan kita, rakyat kecil yang hidup dipinggiran orang-orang bermobil.’ Katanya dengan senyuman sinis.
‘maksud mu pejabat dan presiden ?’ Aku masih sedikit bingung.
‘ah, mereka kurang pantas dipanggil pemimpin negara. Yang namanya pemimpin pasti menjamin rakyatnya hidup enak kak, tidur nyenyak tiap malam, punya masa depan yang cerah bukan malah membuat kita rakyat kecil khawatir tiap malam karna pesuruhnya.’
‘tiap malam kita selalu khawatir untuk tidur kak, kita takut salah satu anggota keluarga kita mati kelaparan tengah malam, tidur kita selalu tidak nyenyak kak tiap kali mendengar sirine kita selalu bergegas untuk mengumpat dari kejaran satpol pp.’ Dia melanjutkan kalimatnya sembari mengusap matanya. Ya, dia menangis menceritakan hidupnya.

******
Kepada bapak presiden yang terpilih nanti; dengarlah cerita rakyat kecil, pak. Teriakan kelaparan mereka, keluhan takut disetiap malam karna suara sirine, tangisan iri melihat teman seusianya duduk dibangku sekolah. Impian mereka sederhana, pak. Mereka hanya ingin punya rumah, punya ijazah, punya perut kenyang tiap malam dan yang terakhir mereka ingin punya pemimpin negara yang bisa menepati itu semua.
Maaf dan terimakasih, pak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Menunggu Pulangmu

Mei di Cikini

Mungkin, Selesai.