Tentang kepergian

Aku ingin bercerita.
Tentang puan yang ditinggal pergi tanpa permisi.
Tentang diri yang belum mampu melepas kepergiannya lebih jauh.
Tentang rindu yang makin hari makin menggebu.

Begini.
Ini tentang kepergian tuan, laki-laki si pemilik rambut sebahu, laki-laki yang banyak membuat tertawa dengan lelucon yang kadang tidak begitu lucu, laki-laki si penyimpan banyak cara untuk menghiburku; puan yang hidupnya ngeluh melulu, dan laki-laki yang sempat ku pastikan ia adalah yang tepat, tapi ternyata tidak juga. Memang, hidup itu apa-apa yang belum tentu.

*****

Ia memutuskan untuk pergi, sementara aku masih berharap ia kembali. Bodoh memang, tapi merelakan tak semudah itu, tuan.

Kemudian, ia pergi karena alasan untuk bisa memahami mereka yang membenci tentang kita, sedangkan aku ingin ia hanya selalu ada untukku. Egois memang, namanya juga terlanjur sayang.

Lalu, ia benar-benar berubah, sementara aku masih ingin ia yang dulu. Salah kalau aku rindu sikapmu kala pertama kali kita bertemu ? Tidak, kan?

Selanjutnya, ia memutuskan untuk melupakan, sedangkan aku masih betah dengan kenangannya. Lucu. Tapi melupakan tak semudah bahagia karena kenangan yang kamu buat, tuan.

Terakhir, ia pamit untuk meninggalkan, sementara aku terpuruk menyaksikan perjalanannya yang semakin lama semakin jauh.

Tubuhnya hilang, kenangannya belum.

*****

Hari-hari berlalu. Semakin mengingat kepergianmu, semakin sesak dadaku. Tetapi, semakin ingin melupakan, semakin itu pula kenangan kuat dalam ingatan.

Aku-susah-payah.
Aku-jatuh-terlalu-jauh.
Aku-elegi-patah-hati.
Melupakanmu, adalah definisi sakit yang harus segera disembuhkan. Secepatnya. Semoga mampu.

Terimakasih, kepergian.
Karenamu, malam hari terasa lain dari biasanya. Terlalu berat memang, tapi hidup tetap berjalan dengan atau tanpamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Menunggu Pulangmu

Mungkin, Selesai.

Selamat datang, mahasiswa baru.