Apa yang kau rindukan dari malam minggu ?

"Aksaraya" panggilnya dengan tenang.

"Iya ?" jawabku pelan. Kala itu, bibirku sangat dekat dengan telinganya.

"Apa yang kau inginkan dari malam minggu ?" dia mulai membuka pertanyaan. Kau harus tahu, tuanku ini adalah lelaki yang menyimpan banyak pertanyaan tak terduga. Tapi tenang saja, jawabannya selalu mudah, hanya dibeberapa penghujung ketika kau mendengar pertanyaannya kau akan dibuat bingung atau bahkan senyum-senyum.

"Inginku, kamu." Jawabku singkat.

"Aku tidak memintamu merayuku, aku memintamu menjawab pertanyaanku." Balasnya seraya menggoda.

"Kau boleh menganggapku merayu, tapi kau juga harus tahu, bahwa hal itu yang benar-benar ingin aku katakan." Ucapku membela diri, tapi aku benar-benar hanya ingin kamu.

"Baiklah. Terimakasih rayuannya, nona si tukang ngambek sejagat raya haha." Dia meledekku dari spion kirinya, kemudian menatapku lama.

"Sama-sama, tuan haha. Kalau kau, apa yang kau inginkan dari malam minggu ?" Aku balik melempar pertanyaan.

"Inginku, selalu bisa melihat senyummu. Kapanpun dan dimanapun." Ucapnya sembari melemparkan senyum.

Saat itu, duniaku jungkir balik, serasa roda kehidupan selalu memutar kebahagiaan. Tak peduli pedih yang dialami, kata-katanya membuatku mabuk kepayang.

"Ah, tuan ini bisa saja." Ucapku dalam hati. Lalu kemudian aku semakin mengeratkan pelukan.

"Kalau malam minggu ini malam minggu terakhir untuk kita, apa yang kau rasa ?" Tanyanya, lagi.

Aku mengernyitkan dahi. Sudah kubilang, pasti ada pertanyaan yang akhirnya membingungkan. Seharusnya aku tak perlu kaget, aku telah mengenalnya lama, telah banyak pertanyaannya yang ku jawab, telah banyak juga jawaban ia yang ku tanggapi. Tapi, kali ini, mengapa udara malam serasa menyeramkan. Rasanya ada bau-bau debu bercampur asap kendaraan, ada tanda-tanda kehilangan yang harus diikhlaskan, ada diriku yang harus kuat menghadapi takdir Tuhan.

"Aku tak suka pertanyaanmu yang ini, bahkan aku tak punya jawabannya." Jawabku kesal mendengar pertanyaannya.

"Ibuku bilang, setiap pertanyaan selalu punya jawaban, sayang. Hanya saja tingkat kesulitan sebuah pertanyaan yang kadang jawabannya tidak ditemukan." Jelasnya.

Aku hanya terdiam, lalu melepaskan pelukan.

"Lalu, apakah pertanyaanku terlalu sulit untuk kau jawab ?" Dia membujukku.

"Sangat sulit, Satir. Kau harus tahu satu hal, bahwa ada beberapa pertanyaan yang jawabannya lebih baik dipendam, tak lain untuk menghindarkan pertanyaan lain yang lebih membingungkan atau bahkan menyedihkan. Aku tak suka sedih, kau pun tahu itu." Jawabku memprotes.

"Tapi, kau hanya perlu menjawabnya. Setelah itu aku tak akan bertanya lagi."

"Baiklah kalau kau memaksaku untuk menjawab. Sebenarnya ini adalah pertanyaan tersulit yang harus ku jawab. Semoga segala firasat burukku tak ada hubungannya dengan pertanyaanmu. Aku benci kau buat pikiranku mendadak khawatir."

"Kalau malam minggu ini malam terakhir untuk kita, aku akan meminta pada Tuhan untuk memperpanjang waktu atau sedikit membuat beku waktu pada hal-hal yang menyenangkan ketika bersamamu, seperti membekukan senyummu ketika mencuri tatapan mataku dikaca spion motormu. Tapi, ku rasa, Tuhan selalu baik dengan rencananya. Jadi Tuhan tak akan menjadikan malam minggu ini malam terakhir untuk kita." Setelah menjawab pertanyaannya, mataku tiba-tiba panas, lalu berair, airnya deras, meluncur ke pipi, lalu ke mulut, sesekali tak sengaja ku telan.

"Tapi, Tuhan menyuruhku pulang malam ini."
Tuanku penuh ketidakdugaan.

"Salah. Tuhan menyuruhmu selalu menemaniku." Aku kembali memeluknya. Erat sekali. Serasa tak ingin ia pergi barang sedetikpun dari hidupku.

"Raya, segala kehendak Tuhan terutama tentang kepulangan ke sisinya, tak bisa diganggu gugat. Semuanya sudah pasti akan terjadi." Dia menjelaskan dengan suara yang terdengar lemas.

"Aku tak mau dengar kata-katamu lagi."

"Hey, puanku tak boleh cemberut begitu. Nanti aku malu dengan orang-orang, masa bisanya bikin kamu cemberut sih. Aku kan maunya bikin kamu senang terus." Ucapnya menggodaku.

"Satir, aku tak suka berita kematian. Dulu, ketika ayahku pergi lebih dulu, aku mengurung diri dikamar berhari-hari. Seperti tidak menerima kenyataan, kenapa Tuhan secepat itu menyuruh malaikat maut menjemput ayahku. Ibuku, susah payah menahan tangis ketika hendak membujukku keluar kamar. Kantung mata ibu tebal, setebal kerinduannya pada ayah. Jenaka, adik laki-lakiku selalu menanyakan ayah ketika malam hari tiba. Aku benci kehilangan seseorang yang telah banyak memberikanku kenangan." Air mataku semakin deras, kali ini ditemani oleh sesegukan didada.

"Maaf kalau nanti aku termasuk seseorang itu. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku mencintaimu melebihi keinginanku bersamamu sepanjang waktu malam minggu. Aku pasti akan rindu malam minggu bersamamu. Percayalah."

"Sekarang tak usah menangis, kalau kau benci kesedihan, aku juga benci air matamu." Lanjutnya membuatku sedikit tenang.

Aku terdiam. Hidungku perih menahan air mata yang hendak jatuh lagi. Aku mengubur pikiran buruk tentangnya. Ibuku bilang, sesuatu yang terjadi didunia, sebagian disebabkan oleh pikiranmu tentang kenyataan di depan, sebagiannya lagi kehendak Tuhan yang memang telah ditetapkan. Jadi, aku memilih berhenti memikirkan apapun, selain tetap memeluknya.

Sepanjang perjalanan kami saling diam, kadang aku meliriknya dari kaca, ku lihat matanya semakin sayu, seperti sebentar lagi tertutup. Sesekali aku memanggil namanya, tapi tak ada jawaban apa-apa. Barangkali suaraku kalah dengan suara klakson kendaraan, ku kencangkan panggilanku, masih tidak ada jawaban.

Lalu, pada detik kesekian, ku lihat matanya mengedip, ku lihat didepan kami ada bis pariwisata melaju kencang sekali.

"Satirrrrrr awasssss" Aku teriak, tegang sekali.

"Aaaaaaaaaaaaa" Satir pun teriak sekencang-kencangnya.

BRAKKKKK !

Mataku melihat Satir terpental jauh sekali. Ingin meraih tangannya, tapi akupun lemah diposisi tergeletak dijalan raya, dalam hitungan menit aku menutup mata, lalu tiba diruangan dengan jarum infus dilengan, juga banyak luka disekujur tubuh dengan banyak noda darah diatasnya.

"Sayang, apa yang kau rindukan dari malam minggu ?"

Aku mendengar suaranya setelah berusaha susah payah membuka mata. Setelah berhasil melihat seisi ruangan, aku mendapati tubuhnya mengenakan setelan putih, bersih sekali, kadang bersinar. Tuanku tampan pada saat itu.

Sedetik ketika aku mengedipkan mata, tubuhnya hilang. Lalu, ku sambut kesadaranku dengan tangisan.

Ku jawab pertanyaannya pelan-pelan.

"Aku rindu suara motor klasikmu didepan rumahku, keberanianmu meminja ijin kepada ibu untuk pulang tepat waktu, pegangan tanganmu ketika menyuruhku mengeratkan pelukan, gerak-gerikmu mencuri senyumku, dan aku rindu menjawab pertanyaan yang kadang menjengkelkan." Tubuhku kaku setelah menjawab pertanyaannya.

•••••••••

Tepat pada malam ini, Satir pergi meninggalkanku. Malam minggu yang kelabu, ku sebut itu ketika kehilangan sosoknya.

Satir, aku rindu malam minggu bersamamu.

Komentar

  1. Katanya, aku harus masuk ke rumah duluan, namun aku ingin melihat punggungnya berlalu dari kejauhan😊

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Menunggu Pulangmu

Mei di Cikini

Mungkin, Selesai.