Tony, jangan sedih

Tony, aku melihat air matamu petang tadi. 

Aku baca disorot cahaya yang sudah hampir pecah itu ada tumpukan kenangan bernama kesepian. Memang, Tony, tidak ada sedih yang mampu dimaklumi atas kepergian cinta yang hadirnya memenuhi ruang dada. 

Apalagi yang kau temui selain rongga yang semula terisi, kini hilang tanpa kembali? Kosong. Ia seperti tulang belulang yang perlahan dikikis kenestapaan. Lemah, bahkan lebih parah dari usiamu yang belum disebut renta tetapi jiwa sudah keriput tua. 

Tony, bagian mana yang seperti tamat jalan ceritanya? tentu, saat pemeran utama menghabiskan napas tanpa sisa. Ia pergi setelah membawamu pada banyak perjumpaan, pada setiap bahagia yang tidak terhitung berapa harganya, pada beberapa duka yang mampu kau dan ia selesaikan berdua. 

Walau pada akhir duka itu kau seperti ditikam rasa sakit yang tidak berkesudahan. Kau-tetap-rela merawat kenangan yang menghukummu tanpa ampun. Ia tetap cantik didalam ingatanmu, disetiap seluk beluk kepalamu, dan nama itu, nama yang membuatmu jatuh cinta berkali-kali tetap kerang didalam sanubari. 

Lisa, hadir dengan senyumnya yang kesakitan. Dalam adegan itu, lengannya sempurna memeluk tubuh si penuh luka. Cium tanpa desah itu, mampu menentramkan kalut-kalut diwajahmu. Dan, kalimat itu, mampu membuatmu lumpuh-walau sebenarnya tidak.

Tony, menangislah sesering kali.

Peluk duka-dukamu. Tak apa air mata menyelimuti gigilnya dinginmu. Biarkan setiap tetesnya melebur, menjadi sesuatu yang aduh. Menjadi sesuatu dengan batas waktu yang membuatmu mampu. Berdiri lagi. Menghambur-hamburkan bahagia-lagi. 

Tony, menangislah sesering kali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Menunggu Pulangmu

Selamat datang, mahasiswa baru.

Mei di Cikini