Edelweis Untuk Edelweis


    Cahaya matahari masih setia masuk ke cela-cela jendela kamar milik perempuan bernama Edelweis Flora. Ia menyinari sepasang mata yang sayu akibat begadang menonton pertandingan bola kesayangannya. Cahaya memantul hidung mancungnya yang berminyak ketika kukuruyuk ayam membangunkan. Bibirnya menguap lebar sisa lelah semalam. Dan ia tampak cantik saat bangun pagi.

Ia melihat sekitar dinding kamarnya. Banyak foto bunga abadi dari kekasihnya. Ia menyukai bunga yang namanya sama dengan namanya. Edelweis.
Ia melihat lagi sekeliling kamarnya. Masih memperhatikan dindingnya. Banyak harapan yang dituliskan didinding kamarnya. Salah satunya adalah harapan untuk sembuh dari penyakitnya.

   Pagi ini bahagia menghampiri dirinya. Tim bola kesayangannya menang dari pertandingan semalam pun ada bahagia yang lain: ini hari jadi ia dengan kekasihnya.
Di setiap hari jadinya, biasanya pagi hari atau tepat jam 12 malam lelaki yang ia cinta datang kerumahnya. Mengetuk pintu kamarnya, lalu memberikan ia foto bunga abadi kesukaannya, pun senja dan matahari terbit kala menyapa puncak gunung manapun. Tapi tidak untuk pagi ini. Pagi yang seharusnya bahagia.


******
‘Elang kemana sih dari kemarin belum ngabarin, mau kasih kejutan kali ya, kan hari ini anniv dua tahun.’ Ia berbicara dengan kembarannya di cermin, menggerutu kesal karna lelakinya belum mengabarinya hingga kini.
Ia melihat handphone nya. Banyak notification ucapan selamat hari jadi dari temannya dan teman lelakinya. Tetapi, bukan ucapan dari temannya yang ia tunggu melainkan ucapan hari jadi dari kekasihnya. Tapi tidak ada.
Edel memutar music di laptop merah miliknya. Payung Teduh tentunya. Ia selalu suka dengan petikan gitar yang dialunkan vokalis, selalu nyaman dengan gesekan bass betot yang dimainkan pun alat musik lain yang menghadirkan perpaduan lagu yang membuatnya tenang.

Untuk perempuan yang sedang dalam pelukan sedang berputar di laptopnya pun diingatannya. Ia ingat saat kekasihnya menyanyikan lagu itu dengan gitar saat hari jadi yang ke satu tahun. Memberikan foto edelweis tentunya.

Elang Malik adalah lelaki yang setia memberikannya foto bunga abadi kesukaannya. Ia adalah seorang pencinta alam dan pencinta perempuan yang menyukai bunga abadi itu.
Edel menghampiri foto yang tertempel didindingnya. Ia menjumpai satu foto yang disertai tulisan apik disana. Mengingat ingatan tentang foto itu. Foto itu adalah foto saat Elang menyatakan perasaan kepadanya, Elang memberikan ia seikat bunga edelweis yang ia beli di gunung bromo saat ia berkunjung kesana. Foto itu membuat ia senyum tersipu malu.

******
    Di tempat yang lain, Elang sedang memotret banyak foto edelweis untuknya. Menghampiri setiap edelweis. Gatal ingin memetik pastinya. Tapi ia urungkan niatnya itu.
Ia menulis satu paragraph di lembar foto hasil kamera polaroidnya itu. Di setiap foto untuk Edel ia selalu menyelipkan kata-kata disana. Kali ini ia juga menuliskan satu surat untuk Edel.

******
‘Pokoknya harus cantik.’ Edel mengenakan kemeja hitam pemberian almarhum Ibunya, menyelimuti bibir pucatnya dengan lipstick. Memoles wajahnya agar tidak kelihatan seperti orang sakit. Ia tampak cantik.
Tanpa pesan terakhir dari Seventeen sedang memutar dilaptopnya. Ia diam seketika. Tak tahu ada apa.
Hidup terlalu singkat untuk ceritaTentang kau dan akuKau pergi tanpa pesan terakhirDariku yang menyertaimuKau selalu ku kenang
'tok, tok, tok.’ ada yang mengetuk pintu rumah Edel.

‘pasti Elang.’ Ia berlari menuju pintu rumah dengan senyum yang sumringah.
Benar itu Elang. Ia tampan mengenakan baju putih, tapi ia tampak bercahaya.
Elang berdiri didepannya, memberikan bunga dan amplop hitam. Dengan senyuman yang selalu ada di sudut bibirnya. Tapi, ia tidak berkata apapun.
Lalu ia pergi, meninggalkan Edel yang masih melamun di depan pintu coklat rumahnya.

Saat kau langkahkan kakimu tuk tinggalkankuDan kau pergi jauh untuk selamanyaHingga bayangmu pun tak mampu ku lihat lagiKini kau tlah pergi jauh untuk selamanya

‘Elang ?’ Edel tersadar dalam lamunanya. Ia masih terpaku didepan pintu.
Bait kedua lagu berputar. Terdengar sampai depan pintu. Edel menangis tanpa aba-aba. Air mata mengucur saat bayang Elang tak mampu dilihatnya.
Perasaan ini sama ketika Ibunya meninggalkannya.

Ia membuka amplop hitam pemberian Elang tadi, berisi 1 surat, 2 lembar foto edelweis dan 2 lembar senja di puncak gunung semeru.

Del, jangan marah ya aku pergi gak pamit hehe.aku mau cerita sedikit del, tentang perasaan ku mendaki di Semeru. Kau harus tau rasanya del, seru sekali, menantang saat mau tiba dipuncaknya. Kau pernah menonton film 5cm itu, kan ? iya del aku sudah beberapa kali tertimpa batu besar saat merayap untuk mendaki. Kepalaku bocor del, wajah ku penuh luka. Pasti kau kagum dengan ku, kan ? sudahlah del ngaku saja.Oiya, Del tapi ada yang aneh dari diriku del, perasaan ku tidak seperti biasanya del. Biasanya kalau aku mendaki dan sampai di puncaknya aku selalu senang apalagi ketika aku asik memotret banyak edelweis untuk mu. Tapi kali ini perasaan ku lain, del. Aku khawatir dengan diriku sendiri. Seperti takut untuk tak bisa jumpa lagi dengan mu. kalau aku berkumpul dan menyusul Ibu dan Ayah mu kau tak cemburu, kan ? jangan cemberut begitu del. Senyumlah!kau harus seperti bunga yang sama dengan nama mu; mekar dan abadi di tempat yang kalau ingin disinggahi harus dengan hati. Kau harus selalu tumbuh dengan keindahan mu, del.barangkali ini foto edelweis terakhir untuk mu del. Usap air mata mu, del. Bunga Edelweis tak pernah menangis saat pendaki meninggalkannya.Oiya del, maaf aku belum sempat mengajakmu mendaki bersama , kau simpan dulu kemauan mu, kalau kau sudah benar-benar sembuh kau pasti bisa mendaki, bahkan puncak gunung yang tinggi sekalipun. Kau kan perempuan tangguh. Siapa dulu kekasihnya aku hehe. Selamat Hari Jadi, del. 

Air mata Edel makin deras mengucur, tangannya gemetar membaca surat terakhir pemberian Elang. Ia tak sanggup menyeka air matanya. Biasanya kalau ia menangis seperti ini Elang lah yang mengusap air matanya dengan penuh rasa. Tapi, kini sosok itu pergi.

‘tok, tok, tok.’ Ada suara ketukan lagi dipintu rumah Edel.
Edel menghampiri pintu rumahnya dengan air mata yang masih mengalir dipipi.
‘Del, Elang udah gak ada. Dia terguling saat hendak turun gunung. Kepalanya terbentur batu besar del, jasadnya sedang dijalan pulang.’ Teman Elang menjelaskan dengan tatapan kasihan.
Tubuhnya berdiri kaku, seperti tak bernyawa tapi bisa merasa, seperti tak percaya dengan ini semua,
Ada yang hilang dalam hari-harikuSaat tak bersamamuKau selalu ku kenang dan selalu ku kenang

Lirik Seventeen mengingatkannya lagi. Ada yang hilang dalam harinya dan hatinya.
Tangisan Edel semakin deras mengalir, ketika membaca satu kalimat yang ditulis difoto edelweis terakhir pemberian Elang.

‘kau bunga abadi yang selalu dihati: aku-cinta-kau.’
‘kau yang sudah pergi dan tak mungkin kembali: aku-juga-mencintai-kau. Dengan sangat.’
******



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu Menunggu Pulangmu

Mei di Cikini

Mungkin, Selesai.